Minggu, 01 Januari 2012

KHASANAH FILSAFAT ISLAM PRA IBNU RUSYD


1.     PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Filsafat islam muncul sebagai imbas dari gerakan penerjemah besar besaran dari buku buku peradaban yunani dan peradaban-peradaban lainnya pada masa kejayaan Daulah Abbasiah, dimana pemerintahan yang berkuasa waktu itu memberikan sokongan penuh terhadap gerakan penerjemahan ini, sehingga para ulama bersemangat untuk melakukan penerjemahan dari berbagai macam keilmuan yang dimiliki peradaban Yunani kedalam bahasa Arab, dan prestasi yang paling gemilang dari gerakan ini adalah ketika para ulama berhasil menerjemahkan ilmu filsafat yang mejadi maskot dari peradaban Yunani waktu itu, baik filsafat Plato, Aristoteles, maupun yang lainnya.
Filsafat Islam bukanlah filsafat Aristotelian yang tertulis dalam bahasa Arab ataupun filsafat Platonisme. Hal tersebut dapat dibuktikan dari upaya ahli kalam dari kelompok Mu'tazilah maupun Asyâ’irah untuk menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang rasional, bahwa akal merupakan unsur penting dalam agama ini, sehingga mereka membungkus filsafat dalam baju keagamaan, dan dari situ mereka memahami agama Islam dengan corak filosofis. Akan tetapi selanjutnya keinginan para filosof Islam untuk memperlihatkan agama Islam dalam suatu gambaran rasional menyebabkan mereka menafsirkan sebagian persoalan ke-islam-an yang bersifat ideologis (akidah) dengan teori-teori filsafat, hal ini oleh sebagian umat islam dipandang menyalahi cara berpikir dan akidah agama Islam, maka mulailah mereka mewaspadai dan mengkritik para filosof Islam tersebut.








2.     PEMBAHASAN

1.      Ibnu Taimiyah
Ibnu taimiyah dilahirkan pada tanggal 10 R. Awal tahun 661 H. Dengan nama Ahmad bin Abdul Halim bin Abd Salam bin Taimiyah. Dia tumbuh dengan kecerdasan yang luar biasa, mula-mula dia belajar pada Ibn Abd Daim, al-Qasim al-Irbili, Muslim bin `Allan dan pada Ibn Abi Amr. Selanjutnya Ibnu Taimiyah mebaca sendiri ilmu keislaman tampa bimbingan seorang guru [1]. Namun dengan berbekal kecerdasan yang tinggi Ibnu Taimiyah mampu mengalahkan yang lain. Adz-Dzahahabi menceritakan bahwa Ibnu Taimiyah sudah mempunyai kemampuan munâzharah (berdebad) sebelum masa baligh, dan mampu mengarang, mengajar serta berfatwa padahal umurnya belum memasuki 20 tahun, sehingga dalam usianya yang masih belia dia sudah di anggap sebagai pembesar Ulama.[2]
 Sejak awal mula Ibn Taimiyyah menggeluti filsafat, tujuannya bukanlah untuk mendalami dan memahami ilmu ini untuk kemudian mengambil manfaat yang mungkin bisa diambil darinya, akan tetapi sebaliknya untuk mencari sisi-sisi kesalahannya untuk kemudian merubuhkan bangunannya, karena dalam pandangannya filsafat telah menjadi semacam penyakit yang menyerang pemikiran orang-orang Islam, bahkan ia berpendapat bahwa sebelum seseorang mendalami akidah Islam maka ia harus membersihkan diri dari segala hal yang berbau filasafat yang menurutnya dihasilkan dari kebohongan angan-angan dan bayangan , sikap Ibn Taimiyyah ini kalau kita telusuri lebih jauh merupakan dampak dari kondisi politik dan sosio-kultural masyarakat muslim pada waktu itu:
A.    Kondisi Politik
Pada abad ketujuh dan kedelapan yang merupakan masa penghabisan Daulah Abbasiah, kaum muslimin telah terpecah-belah dalam kerajaan-kerajaan kecil yang antara satu dengan yang lainnya saling memusuhi. Lebih dari itu, kerajaan-kerajaan kecil ini mendapat ancaman besar dari tiga sisi: serangan bangsa Tartar dari arah timur (Mongolia), serangan pasukan Perang Salib yang terus mendesak dari arah barat, serta ancaman akibat perpecahan dari umat Islam sendiri.
B.        Kondisi Masyarakat
Sejak perang salib berkecamuk pada awal abad kelima Hijriah, terjadilah berturan-benturan peradaban antara barat (Eropa) dan timur (Arab), benturan-benturan ini dengan dahsyatnya berpengaruh terhadap kebudayaan, adat, pemikiran, bahkan kehidupan beragama.Percampuran-percampuran secara terpaksa ini mau tidak mau ikut pula mencampur-adukkan corak kejiwaan, pemikiran, dan kemasyarakatan kedalam suatu adat (kebiasaan) yang berbeda, sehingga dari sini munculah suatu kumpulan "masyarakat terpaksa" yang tidak mempunyai pegangan dan ketenangan, dan kumpulan masyarakat ini terpusat di satu titik, yaitu Mesir.
C. Kondisi Pemikiran                                                                         
Sebelum masa Ibn Taimiyyah sudah banyak tersebar aliran-aliran pemikiran yang antara satu dengan yang lainnya tidak jarang terjadi perselisihan-perselisihan, hal ini menyebabkan terbentangnya jarak antara pengikut aliran yang satu dengan yang lainnya. Perpecahan tersebut mencapai puncaknya pada masa Ibn Taimiyyah (abad ketujuh sampai awal abad kedelapan), dimana pertentangan-pertentangan tersebut mengakibatkan terpecah-belahnya para ulama dalam berbagai golongan. Di tengah keadaan ini, mencuatlah para filosof Islam yang berusaha mensinkronkan antara filsafat dengan agama sebagaimana dilakukan oleh para pengikut Ikhwan As-Shofa, Al-Ghazali dan Ibn Rusyd.Dari kondisi semacam ini timbul-lah perdebatan pemikiran yang amat sengit diantara para ulama, perang dalil dengan mengatasnamakan agama tidak dapat dihindari untuk mengalahkan dan menguasai lawannya demi kepentingan golongan, tanpa mencoba untuk saling mengerti dan memahami untuk kedamaian bersama.
Tidak heran kalau saat dewasa Ibnu Taimiyah menjadi seorang yang berpengaruh karena kesalehan dan kemampuan intelektualnya melebihi kebanyakan manusia. Ibnu Hajar Al-Asqalani menuturkan panjang lebar tentang ilmu Ibnu Taimiyah melalui tulisan Al-Hafid Al-Dzahabi, murid Ibnu Taimiyah. Menurut adz-Dzahabi seorang yang melihat kehebatan Ibnu Taimiyah dalam masalah khilafiyah, maka ia akan heran dan kagum, Ibnu Taimiyah mampu mentarjih dan membandingkan segala perbedaan dengan argument yang kuat, dia berhak berijtihad sendiri karena syarat-syarat mujtahid telah dipenuhi. Tidak kutemukan seorang yang lebih cepat melebihi Ibnu Taimiyah dalam mengeluarkan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai dalil dalam suatu masalah, hadits-hadits Nabi seakan akan berada di depan mata dan di ujung lidahnya, disamping itu ia mampu mentafsiri Al-Qur’an dengan luas. Adapun falam masalah ideologi berbagai aliran maka dia tiada berdebu. Sedang sifatnya sangat dermawan, pemberani dan tidak pernah menyimpan dendam. Kata-kataku ini akan dianggap kurang oleh pendukungnya dan akan dianggap berlebihan oleh para penentangnya.[3]
2.      Al-Ghazali
Berbeda dengan Ibn Taimiyyah, Al-Ghazali mempelajari dan mendalami filsafat adalah untuk menyingkap kebenaran-kebenaran yang mungkin akan ditemukan didalamnya, yang mana dalam hal ini ia berpedoman, bahwa keraguan adalah sarana untuk sampai pada keyakinan. Setelah mendalami filsafat ia mendapatkan kesalahan-kesalahan yang banyak dilakukan oleh para filosof, maka kemudian ia mencoba untuk keluar dari filsafat dan kembali kepada agama serta menenggelamkan dirinya dalam dunia kesufian untuk selanjutnya menggunakan pengetahuannya tentang filsafat untuk menyingkap kesesatan-kesesatan para filosof dalam karyanya “Tahâfut Al-Falâsifah”.
Menurut Al-Gazali dalam kitabnya Tahafut al-Falasifah , antara lain yang menyebabkan kesalahan yang dilakukan oleh para filosof dengan pendapatnya, bahwa ada dua puluh kesalahan. Tujuh belas pendapatnya membuat bid'ah dan tiga pendapatnya menjadi kafir. Ketiga pendapat filosof itu adalah:
1.      alam qadim                                                                                                        
2.      Ilmu tuhan tidak meliputi hal-hal yang kecil (juz’iyyat)
3.      Tidak ada kebangkitan jasmani [4]
Sebaliknya, menurut Ibnu Rusyd justru Al-Ghazali sendiri tidak konsisten, dalam tahafuth al-falasifah dikatakan bahwa tidak ada ulama yang berpendapat bahwa kebangkitan di akhirat hanya bersifat rohani semata. Akan tetapi dalam bukunya yang lain, Al-Ghazali mengatakan bahwa kaum sufi berpendapat yang akan terjadi di akhirat adalah kebangkitan rohani. [5]
Oleh Karena itu tidak ada 'Ijma ulama tentang soal pembangkitan di hari kiamat. Dengan demikian, kaum filosof yang berpendapat bahwa pembangkitan jasmani tidak ada tidak dapat dikafirkan. [6]

Al Ghazali dan Mantik
Al Ghazali berpendapat bahwa mantik adalah aturan-aturan berpikir yang berfungsi meluruskan akal dalam menarik kesimpulan dan membebaskannya dari campuran prasangka dan imajinasi. Tugas utama mantik dengan demikian adalah menjaga akal dari kesalahan berpikir. Mantik bagi akal sepadan dengan posisi nahwu bagi bahasa Arab dan ilmu ‘Arud bagi ritme puisi (syair). Meminjam analogi Al Farabi, mantik bagi akal ibarat neraca dan takaran yang berfungsi mengukur bobot benda yang tak bisa diketahui ukurannya dengan tepat jika hanya menggunakan indera.[7]Al Ghazali bahkan menegaskan bahwa mantik merupakan mukaddimah (organon) seluruh ilmu --bukan hanya pengantar filsafat. Maka barangsiapa yang tidak menguasai mantik, seluruh pengetahuannya rusak dan diragukan.[8]
3.      Pemikiran Filsafat Ibnu Sina
Ibnu Sina sangat mengutamakan logika, justru fikiran adalah satu jalan pengetahuan yang diberikan dengan satu aturan tertentu kepada suatu yang tidak diketahui.[9] Menurut dia, ada tiga macam sesuatu yang ada. Pertama, pentingnya dalam diri sendiri, tidak perlu kepada sebab lain untuk kejadiannya selain dirinya sendiri (yakni Tuhan). Kedua, berkehendak kepada yang lain, yaitu makhluk yang butuh kepada yang menjadikannya. Ketiga, makhluk mungkin, yaitu bisa ada dan bisa tidak ada, dan dia sendiri tidak butuh kepada kejadiannya (benda-benda yang tak berakal seperti pohon-pohon, batu, dan sebagainya).[10]
Secara garis besar Ibnu Sina membagi menjadi dua segi yaitu:[11]
1.      Segi fisika, yang membicarakan tentang macam – macam jiwa (jiwa tumbuhkan, jiwa hewan dan jiwa manusia). Jiwa tumbuh-tumbuhan dengan daya – daya: Makan (nutrition), Tumbuh (growth),  Berkembang biak (reproduction).
2.      Segi metafisika,yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.

4.  Al-Farabi
Metafisika, menurut al-Farabi dapat dibagi menjadi tiga bagian utama :
1.  Bagian yang berkenaan dengan eksistensi wujud-wujud, yaitu ontologi.
2. Bagian yang berkenaan dengan substansi-substansi material, sifat dan bilangannya, serta derajat keunggulannya, yang pada akhirnya memuncak dalam studi tentang “suatu wujud sempurna yang tidak lebih besar daripada yang dapat dibayangkan”, yang merupakan prinsip terakhir dari segala sesuatu yang lainnya mengambil sebagai sumber wujudnya, yaiu teologi
3.    Bagian yang berkenaan dengan prinsip-prinsip utama demonstrasi yang mendasari ilmu-ilmu khusus.[12]
Ilmu filosofis tertinggi adalah metafisika (al-ilm al-ilahi) karena materi subyeknya berupa wujud non fisik mutlak yang menduduki peringkat tertinggi dalam hierarki wujud. Dalam terminology religius, wujud non fisik mengacu kepada Tuhan dan malaikat. Dalam terminology filosofis, wujud ini merujuk pada Sebab Pertama, sebab kedua, dan intelek aktif.[13]
Dalam risalahnya yang terkenal dengan klasifikasi ilmu pengetahuan berjudul Ihsha’ al-Ulum, al-Farabi memandang kosmologi sebagai cabang metafisika. Ia juga berpendapat bahwa kosmologi mungkin diturunkan dari prinsip-prinsip sains partikular.[14] Al-Farabi juga berpandangan bahwa penguasaan matematika tidak dapat dikesampingkan dalam upaya memiliki pengetahuan yang tepat mengenai pengetahuan-pengetahuan spiritual. Kemampuan al-Farabi di bidang matematika inipun mendapatkan posisi terkemuka di kalangan filosof Islam.[15]


[1] Ibnu Hajar al-Asqalani Addurarul kaminah. Hal 88
[2] Ibid Hal 95
[3]Ibid hal 19
[4] Al-Gazali, Tahafuth al-Falasifah , Sulaiman Dunya (ed), alih bahasa: Ahmad Thaha (Cet.I; Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), hal XVII.
[5] Ibid, H. 230
[6] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, op.cit,  h. 54
[7] Abu Nasr Al Farabi, Ihsha ul-‘Ulum, (Mesir: Dar Al Fikr Al ‘Arabi, tth.), h. 54.
[8] Abu Hamid Al Ghazali, Al Mustashfa fi ‘Ilm Al Ushul, (Beirut: Dar ul Qalam, tth.), jilid I, h. 29.
[9] Hamzah Ya’kub, Filsafat Agama: Titik Temu akal dengan Wahyu, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992, hal: 41
[10] Ibid
[11] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1985, Cet.V, hal: 34-35
[12] Majid Fakhry, A. History, h. 173
[13] Osman Bakar, Hiererki Ilmu, h. 120
[14] Osman Bakar, Tawhid and Science : Essasy on the History and Philosophy Of Islamic
Science alih bahasa Yuliani Liputo, Tauhid dan Sains Esai-esai tentang Sejarah dan
Filsafat Sains Islam (Jakarta : Pustaka Hidayah, 1994), h. 85
[15] Majid Fakhri, A History , h. 163

Tidak ada komentar:

Posting Komentar